Aku suka gambar ini.. kalau di lihat, si cewek lagi diam-diam suka sama si cowok. Serasa 'Gue Banget!'
ada yang pernah mengalami? memang sih, perasaan terpendam itu menyiksa. Tapi, kan senang juga kalau si cowok membalas sinyal yang kita berikan kalau kita itu suka sama dia..
lah? kenapa jadi begini? ... ya, tak apalah. Sedikit menyinggung masalah cinta, tak akan membuat aku gegar otak.
Andini Iswara Heryanti
Blog Ini berisi pengalaman saya, tentang apa yang saya lihat, amati dan rasakan. Atau pun semua hal yang saya anggap penting dan baik untuk dipublikasikan
Rabu, 15 Januari 2014
Senin, 13 Januari 2014
Cinta Kenji
Aku
memandang pemain sepak bola yang sedang bergembira karena berhasil menjebol
gawang lawan. Seperti gadis di sampingku, ia heboh melihat orang yang ia sukai
ikut andil dalam masuknya bola ke gawang.
“Shino keren, ya?!” Gadis di sampingku bertanya dengan
nada girang. Dia adalah temanku yang
cukup merepotkan, namanya Eiko Himawari.
“Hai” aku menjawab singkat.
Dengan nama lengkap, Watanabe Shino. Orangnya tinggi,
atletis, rapi, tampan dan sangat digandrungi oleh banyak siswi di SMA Kenishi.
Sudah sepantasnya Eiko menyukai pemuda itu.
“Permainan macam apa itu? Mereka menang karena lawan yang
tidak imbang” komentar seseorang dengan nada santai. Hebatnya, temanku langsung
bereaksi.
“Kau ini bisanya hanya berkomentar. Mereka memang hebat!
Dasar mulut lebar!” Sembur Eiko. Aku memutarkan bola mata.
“ Masih beruntung mulutku lebar, dari pada kamu. Kening
lebar!” Timpal orang itu.
Dia adalah Imura Kenji. Lelaki yang selalu bersitegang
dengan Eiko. Dia urakan, tengil, dan cuek. Tapi begitu populer di kalangan
siswa karena kepintarannya dan juga wajahnya yang tampan.
“Nani?! Dasar tidak tau malu! Tarik kembali ucapanmu
itu!” Teriak temanku, Eiko.
“Cerewet! Yang begitu saja di bikin ribut. Dasar wanita!”
Timpal Kenji.
Begitulah, setiap hari kerjaan Eiko dan Kenji, adu mulut
dan saling ejek. Seperti di cerita–cerita novel saja. Yang membuatku jengah
adalah keluhan Eiko tentang Kenji yang setiap waktu itu telah mewarnai
hari-hariku. Aku pusing luar biasa. Dengar suara Eiko saja, membuat telingaku
sakit. Apalagi ditambah pengaduan tentang Kenji yang menyebalkan. Setiap
berbicara pakai teriak-teriak dengan nada kesal
Saat itu, pasti kesabaranku di uji.
Kalau tentang Shino, Eiko selalu memujinya. Eiko
benar-benar mengagumi sosok cowok yang satu ini.
“Sudah keren, pintar, tampan pula” puji Eiko suatu hari.
“Bukannya Kenji juga tampan, dia juga pintar” Sergah
Kurumi yang kebetulan berada di samping Eiko.
“Hah! ... percuma saja! Dia itu orang paling menyebalkan
yang pernah kutemui”
Wah .. kalau membahas kebencian Eiko pada Kenji, memang
tak ada habisnya.
***
“Hikari-chan, makan ramen yuk! Aku traktir” ajak Eiko.
Aku tersenyum dan mengangguk. Tak kusangka letak kedai ramen cukup jauh
jaraknya dari sekolah. yang membuat aku heran, Eiko terlihat sangat ceria.
“Konnichiwa” sambut seseorang yang sukses membuatku
terdiam. Itu Watanabe Shino dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya serta
celemek putih.
“Eh, Kuronuma-san? Makan di sini ya?” Shino memandangku
sambil tersenyum.
“Hai, Watanabe-san. Eiko yang mengajakku kemari” Kataku.Terlihat
wajah Eiko yang tersipu.
“Ah. Eiko Sawatari, ya?”
Glek!
“Bukan, yang benar itu Eiko Himawari” Ralat Eiko dengan
senyum yang agak dipaksakan.
“Ah, Gomen ne”
***
Sepulang makan ramen, Eiko juga tak hanya kesal pada Shino,
tapi tentunya padaku juga.
“Kenapa Shino tidak tau namaku? Padahal kami sering
bertemu, dan malah kamu yang terlebih dahulu di sapa” Cecar Eiko “Apa kamu
kenal Shino? Tapi pura-pura tidak saling kenal saat bersamaku?!”
“Iie” kataku sambil menggoyang-goyangkan kedua telapak
tangan “Tetanggaku adalah saudara Shino. Jadi kami pernah bertemu beberapa
kali”
“Kenapa kamu tidak bilang sedari dulu?!”Nada suaranya
meninggi.
“Ah, tapi kan kami tidak dekat” Imbuhku. Tiba-tiba saja
Eiko melotot, seakan berniat menelanku bulat-bulat.
“Bagaimana kalau Shino menyukaimu?” Tanya Eiko, matanya
menatap lekat kearah wajah ku.
“Ano... Eito ...” aku bingung sendiri, salah menjawab
saja fatal akibatnya.
“Itu hak Shino untuk menyukai siapapun, Eiko” Suara
ngebass Kenji membuatku kaget.
Aduh...!
Kenapa ia muncul disaat yang tidak tepat?
“Wah, Kenji! Kebetulan sekali, ya” aku mencoba
berbasa-basi sambil menarik tangan Eiko agar menjauh dari Kenji.
“Apa sih?! Menarikku seenaknya!” bentakan Eiko membuatku
terbelalak. “Cih! Kebetulan yang sial, harus bertemu denganmu!”
Aku memberi isyarat agar Kenji tak membalas omongan Eiko
yang kasar. Namun, sepertinya ia tak peduli. Kenji malah tersenyum.
“Kurasa pertemuan ini merupakan sebuah anugerah bagiku”
Ujar Kenji, aku langsung memandang Eiko tersenyum kecut.
Apa Kenji menyukai Eiko? Hatiku bertanya.
“Baiklah kalau begitu, Kenji. Kami pamit dulu, ayo Eiko!
Matta ashita” Buru-buru aku menggamit lengan Eiko seraya menariknya. Masih
terlihat jelas Kenji yang tersenyum hangat.
Eh?
“Dia.. tadi, kenapa jadi begitu?” Eiko keheranan,
kemudian bergidik. Geli juga melihat gadis itu.
“Aku rasa, Kenji
menyukaimu” Aku menegaskan.
***
“Hikari-chan! Shino mengajaku pulang bareng” Eiko
terlihat girang.
“Wah, Eiko dan Shino ada kemajuan, ya” Kataku.
Benar saja, Shino menunggu kedatangan Eiko di gerbang. Aku yakin sekali sebenarnya Shino hanya ingin
membayar kesalahnnya kemarin pada Eiko.
“Matta ashita, Hikari-chan! Aku duluan ya!” teriak Eiko
sambil berlari menghampiri Shino. Sontak, semua gadis melirik kearah mereka
berdua.
“Mereka serasi ya”. Itu Kenji, mungkin karena terlalu
sering mendengarnya teriak-teriak, jadi aku begitu mengenal suara ngebass yang
satu ini.
Tak berselang lama, aku tertawa.
“Kenapa tertawa? jangan-jangan benar kata Eiko kemarin”
Aku langsung berhenti tertawa.
“Baka. Dia hanya takut Shino malah menyukaiku, karena
Shino terlebih dahulu tau namaku dibanding nama panjang Eiko sendiri. Padahal,
ia tak usah khawatir” Aku menuturkan.
“Wah, kalau Shino menyukaimu. Kupastikan ada pihak yang
terluka karenanya”
“Eiko, maksudmu?” tanyaku.
Kenji menaikkan sebelah alisnya. Aku kembali
tertawa. Kenji pun tersenyum. Entahlah, rasanya hari ini aku bahagia sekali.
***
Aku
duduk sendiri di taman sekolah dengan kondisi kaki pegal-pegal. Eiko sudah
pulang terlebih dahulu bersama Shino.
Jika
mengingat pembicaraan dengan Eiko tadi siang, lucu juga. Ia kesal karena Shino
hanya berbicara masalah di kedai tempo lalu.
“Tumben,
Hikari tak bersama Eiko hari ini” aku menoleh ke arah suara. Kenji lagi. Entah
kenapa, akhir-akhir ini Kenji selalu ada di sebelahku meski tanpa kehadiran
Eiko.
“Memang
kenapa? Jangan-jangan kamu rindu padanya?” Kataku seraya tersenyum jahil.
“Tentu
saja tidak” Wajahnya yang Innocent membuatku gemas. Jujur saja, lah! Katakan
yang sebenarnya!
“Masa?
Kupikir kau menyukainya, bukan?” Pancingku.”Ungkapkan saja perasaanmu yang
sebenarnya”
“Maksudmu?”
Ia melirikku.
“Bukankah
selama kau berseteru dengan Eiko, diam-diam kau menyukainya?”
Di
luar dugaan, Kenji tergelak.
“Kurasa
kau salah paham.” Katanya, kemudian duduk di sebelahku.
Deg! Salah paham, katanya?! Apa dugaanku salah?
Masa sih? Bisa gila aku, memikirkan hal
seperti ini saja.
“Ano
... tadi, kamu menyuruhku untuk mengungkapkan perasaanku.” Aku hanya
mengangguk.
Hening.
“Watashi anata ga suki desu ...” Ucap Kenji. Mendadak
darahku berdesir, hatiku bergemuruh tak karuan. Pikiranku kacau. Aku kaget,
heran, sekaligus bingung.
“Kau pasti bercanda!” kataku seraya menepuk pundaknya.
“Iie,”
jawabnya singkat “Tsukiatte Kudasai”
Glek!
“Tapi,
kenapa?”
“Aku
selalu berpikir.. Seharusnya, aku menyukai Eiko seperti di novel-novel pada
umumnya. Tapi takdir tak dapat diatur hanya karena sebuah hukum baku dalam
sebuah cerita fiksi” Mata Kenji menerawang “Aneh ya” ia menambahkan
“Lalu, apa jawabanmu?” Kenji mengalihkan pandangan,
matanya kini menatapku.
“Ajaib” hanya kata itu yang mampu aku ucapkan. Kenji
tertawa. Aku ikut tertwa, konyol juga.
***
Seminggu kemudian hubungan Eiko dengan Shino semakin
dekat. Mereka masih sering terlihat bersama.
Dan aku, ya ... masih sama. Telingaku masih sakit,
mendengar Kenji dan Eiko yang saling mengejek dan meneriaki satu sama lain.
Mereka berisik sekali!
“Kenapa kalian tidak damai saja, sih” Sindirku pada Eiko.
Ia malah membuang muka.
“Rasanya, kalau tidak ribut. Kurang seru. Karena
perseteruan kami adalah bunga yang mempercantik sekolah ini” Kenji menimpali,
secara tiba-tiba ia sudah berada di sampingku.
“Mempercantik, katamu?! Dasar kuno!” Eiko mencoba meraih
Kenji kemudian menimpuki dengan tas miliknya.
BUKK!!
Kenji berlari menghindar sambil menarik tanganku.
“Hooy! Jangan culik temanku!”
Note :
Nani = apa
Gomen ne = maafkan aku
Iie = tidak
Matta Ashita = sampai
jumpa besok
Baka = bodoh
Tsukiatte Kudasai =
jadilah pacarku
Arti Kesuksesan
Aku senang sekali, saat pelajaran BTQ berlangsung.. siapa yang gak senang, coba? Kita gak belajar, gak nulis dan cuma jadi pendengar nasehat plus motivasi dari guru...
aku dapat sebuah kesimpulan..
"Sukses tidak diukur dari banyaknya materi yang di peroleh suatu saat nanti, tapi sukses adalah kehidupan dengan baik"
Lah.. kalau kata anak gaul sih, Te-O-Pe Be-Ge-Te.. alias Top Banget!
Curhat Ala Pelajar
Tau kan, KBM ? alias kegiatan belajar mengajar. Entah kenapa, setiap pelajaran eksakta atau mungkin karena gurunya bikin boring abis, aku selalu merakan satu hal...
NGANTUK ..
aku punya cerita.... sekitar hari jumat, jam tujuh kurang temen-temen udah ribut tentang tugas ipa yang belum beres. Semua anak, kebetulan mengerjakan saat itu juga... kecuali aku, yang dengan santai nya malah baca komik. Yang menakjubkan, ... itulah detik-detik kelas ku jadi hening. Sumpah! sepi banget.. Yang terdengar cuma suara pensil atau penghapus. Gak ada satu pun orang yang berbicara. Itu baru namanya keajaiban! kelas ku itu terkenal suka ribut, berisik, dan cowok nya rata-rata cerewet. Kebalik ya? .. But, is true story.. saat itu juga aku sadar..
Kelas menjadi hening dan tentram karena suasana yang ada atas kehendak penduduknya. Guru gak usah ngomel-ngomel, gara-gara kelas ribut... Mungkin penduduknya jenuh banget sama isi materi nya atau cara pembawaan si Guru... Atau... penduduknya lagi gak Mood untuk membangun keinginan sendiri buat belajar...
Rabu, 01 Januari 2014
Duar!
“Tahun baru di Bandung, euy!” sorak
Nining. Girang.
Ini adalah pertama kalinya Nining
merasakan hawa tahun baru di Bandung, dengan suasana yang lebih meriah
dibanding saat di Desa dulu.
Beberapa bulan yang lalu, Nining
memutuskan untuk tinggal di rumah Bibinya sekaligus melanjutkan jenjang pendidikan
sekolah menengahnya ke salah satu SMA terfavorit di Bandung.
Dan besok, malam pergantian tahun
paling beda bagi Nining. Bersama teman baru dan pengalaman baru.
“Asyik!” jerit Nining, saking
senangnya ia sampai melompat-lompat.
***
“Ning ... Ada temen, tuh” Teriakan
Bibinya, langsung di sahut dengan bersemangat.
“Yeah!”
Di ayunkan kakinya, setengah berlari
menghampiri teman-teman yang sedang berdiri di dekat pagar rumah bercat kuning.
Mereka tengah asyik mengobrol sambil menunggu kedatangan Nining.
“Fika, Salwa, Erin” Ketiga orang
yang disebut namanya, langsung menoleh.
“Hayu, masuk kedalam” Ajak Nining.
Ketiga temannya serempak mengagguk dan mengekor Nining yang sudah lebih dulu
memasuki pelataran rumah.
“Ning, kita ngobrolnya di beranda
aja, ya” Ujar Fika, di sambut anggukan Salwa dan Erin. “Biar santai” tambah
Fika.
Tak lama kemudian, mereka berempat
sudah duduk ber-sila di teras rumah. Bertemankan sepiring cireng dan gehu,
serta teh manis hangat.
“Gini, Ning” Salwa memulai.
Tangannya mencomot cireng. Kemudian melahapnya.
“Kita tuh, kesini buat ngajakin kamu
ikut ngerayain Tahun Baru bareng temen-temen di Gasibu” tutur Salwa dengan mulut
penuh, cireng di tangannya hanya tinggal separuh.
Mata
Nining berbinar, Kebetulan sekali!
“O,
ya. Katanya sih, Erza bakalan ikut” Erin menambahkan, lalu menyeruput teh manis
dengan nikmat. Nining terdiam sebentar. Menikmati tahun baru bersama Erza? ... kontan
saja, Nining jadi bersemangat.
“Aku
ikut!” Pekik Nining. Melihat itu, ketinga temannya saling melempar senyum
memaklumi.
“Deuh
... semangat banget, nih!” Sindir Salwa.
***
Malam
ini begitu dingin, sayup-sayup terdengar lagu dangdut mengalun. Nining teringat
suasana malam yang ia lewati di Desa. Jauh lebih sepi, yang terdengar hanyalah
suara jangkrik.
Tapi
besok, pasti malam hari menjadi lebih meriah. Ingatan Nining kembali pada
percakapan tadi siang. Bersama ketiga teman yang baru di kenalnya beberapa
bulan lalu.
Angannya
melayang, membayangkan sepotong episode malam tahun baru yang romantis bersama
Erza, di temani meriahnya suara petasan..
“Cantik
ya?” Nining bergumam pelan. Melihat kembang api yang menghias langit malam.
“Tapi
kalah sama kecantikan kamu. Kalau kembang api hanya dapat dinikmati
kecantikannya saat momen tertentu saja, tapi kamu ... aku bisa menikmati
kecantikan kamu setiap waktu”
Nining
senyam-senyum sendiri, wajahnya cerah dengan khayalan yang ia ciptakan. Nining
belum pernah merasa sebahagia ini, saat menyukai seseorang.
***
Nining
menghampiri seorang wanita berusia tiga puluhan yang tengah asyik duduk dengan
tangan yang terampil menjahit sebuah pakaian. Perlahan, Nining merangkul wanita
itu yang merupakan bibinya.
“Bibi
...” Nining sengaja membuat nada suaranya terdengar manja.
“Hmm
..” Sahut bibinya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan.
“Boleh
gak, kalau Nining ikut ngerayain tahun baru bareng temen-temen?” Bibinya
mengerutkan kening, tangannya sibuk menaruh kembali alat menjahit ke tempatnya.
“Boleh,
ya..?” Nining merajuk. Bibinya menatap lekat ke arah wajah Nining.
“Mau
ngerayain dimana, Neng geulis teh?”
“Kata
Fika, sih. Di Gasibu”
Bibinya mengusap bahu Nining perlahan,
kepalanya tertunduk. Yang Nining dengar hanyalah sebuah desahan.
“Yeuh,
Ning. Bibi rasa, kamu itu sudah besar. Mungkin tau mana yang benar dan yang
salah”
Nining
menelan ludah, ia dapat menebak bahwa bibinya tidak mengijinkan.
“Tapi,
Bi .. besok itu, malam pertama Nining ngerayain tahun baru di Bandung” Suara
Nining lirih.
“Ning
... kalau mau lihat kembang api kan bisa disini”
“Tapi,
kan beda” Nining bersikeras. Bibinya menatap wajah keponakan perempuannya
dengan penuh kehangatan.
“Ning
... Suasana di Bandung memang beda sama di Desa. Di sini gak seaman yang kamu
kira” Kata Bibinya “Daripada ngebuang uang, mending ikut sama Bibi aja. Dengerin
Tausyiah sama Perenungan di Puncak tengah malam, sekalian Muhasabah”
Nining
melepas rangkulannya. Ia bangkit dan berjalan tanpa mempedulikan panggilan
bibinya.
“Nining
... kamu kenapa?”
Ditutup
pintu kamar Nining dengan keras, Hingga menhasilkan suara berdebum. Di kamar,
ia langsung mengehempaskan diri di atas kasur. Matanya menghangat, dadanya
serasa sesak. Dalam bayangannya, besok teman-temannya akan bersuka cita tanpa
kehadirannya. Tertawa-tawa dengan riang, dan Erza ...
Hilanglah
kesempatanku untuk dekat dengannya, Batin gadis itu.
***
Memiliki
nama lengkap Erza Aridya Muse. Cowok blasteran itu, terkenal di kalangan para
siswi karena jasanya pada sekolah yang telah membawa banyak piala, juga karena
ketampanannya serta senyuman manis yang selalu tersungging pada setiap orang
yang berada di sekitarnya. Bisa dibilang ia sangat ramah, ... terlalu ramah
malah.
Pertemuan
Nining dengan cowok berperawakan tinggi ini, bermula ketika cowok itu tak
sengaja menumpahkan minuman pada buku gambar A3 milik Nining. Dengan wajah
panik, cowok itu berjanji akan menggantinya. Dan benar saja, keesokkan harinya
Erza langsung menyodorkan sebuah buku gambar yang masih gerbungkus plastik.
“Ini,
... maaf soal yang kemarin”
“Bukan
masalah” Nining menjawab singkat, tangannya dengan cepat meraih buku gambar
dengan kepala tertunduk-tunduk, tak mampu menatap lawan bicaranya. Habis, ia
sudah gugup duluan.
“Oke
..” Suara cowok itu terdengar canggung. Perlahan Nining mendongakkan kepalanya,
dan .. satu .. dua.. tiga detik Nining terdiam melihat cowok itu tengah
tersenyum padanya.
Jantungnya
berdegup kencang, rasanya ingin sekali Nining menjerit saking terpana pada
sosok di hadapannya.
Dan
... sejak saat itulah Nining menyukai Erza.
***
Siang
itu, kediaman Bibi Nining di ramaikan kedatangan Fika, Salwa dan Erin. Tadinya,
mereka bertiga mau merencanakan kegiatan saat tahun baru. Tapi mendengar cerita
Nining, membuat mereka terbelalak.
“Hah?”
Ketiga
teman Nining yang sedari tadi asyik memakan gorengan yang disuguhkan, langsung
memusatkan perhatian pada Nining.
“Masa
gitu doang gak di kasih ijin?” Salwa mengerutkan kening.
“Ih,
Norak. Kuno banget” Erin menambahkan.
“Jadi,
Bibi kamu malah ngajakin kamu dengerin tausyiah?” Kejar Fika kemudian. Nining
mengangguk.
“Gini
deh ... aku kasih solusi. Gimana kalau .. Psstt..” terlihat Fika membisikan
sesuatu. “Psst..psstt..!”
“Apa
gak dosa, Fik?” Nining telihat ragu. Fika menggeleng mantap.
“Demi
kebahagiaanmu, kenapa tidak?”
***
Sekarang
duah pukul lima sore. Bibi berencana pergi ke Pusdai untuk menghadiri acara
Muhasabah pada pukul setengah enam.
Nining
dilema. Antara bingung, takut dan juga keinginannya yang kuat untuk bertemu
sang pujaan hati. Perlahan tangannya membuka jendela kamar yang menghubungkan
ke pekarangan belakang. Ia berencana kabur ke rumah Erin. Jaraknya lumayan
dekat, hanya melewati beberapa gang saja.
Dengan
hati-hati, Nining menaiki jendela kamar. Namun..
“Masya
Allah! Ning ...” pekikan Bibinya membuat Nining terperanjat. Beberapa menit
kemudian, Nining tertunduk. Merasa malu karena kepergok mau kabur. Rencana A,
Gatot alias Guaaagal Totaaal.
“Ning!
eling... kenapa nekat gitu?” Bibinya mengguncang-guncang kedua bahu
keponakannya itu. Nining membisu.
“Udah!
Sekarang kamu ikut Bibi Muhasabah sampai subuh di Pusdai” Tandas Bibinya
kemudian.
“Tapi
..”
Nining
lemas seketika. Gimana nih?! Harapannya untuk menikmati Tahun baru layaknya
Remaja pada umunya, menguap sudah. Apalagi menikmatinya bersama Erza? ...
sekarang hanyalah sebuah angan belaka.
Eits
.. Nining menjentikkan jari. Saatnya rencana B..
***
Nining
menatap sebuah masjid yang berdiri megah di hadapannya kini. Berwaran cet Krem
serta coklat. Tak dapat di pungkiri, ternyata Pusdai begitu indah dan luas.
“Tuh,
kan! Gak terlalu buruk, kalau Nining datang ke sini” Sergah bibinya. Nining masih
cemberut.
Sebenarnya,
begitu banyak acara hiburan selama menunggu tengah malam tiba. Bahkan Nining
bisa mendengar suara dangdut yang berasal dari tempat dekat masjid.
Aneh
.. gumamnya.
Entah
sudah berapa kali, Nining menatap jam tangan mungil yang menghiasi pergelangan
tangannya. Masih jam delapan, boseeeen! Jerit Nining. Ia kemudian memutuskan
berjalan-jalan mengelilingi luasnya area masjid.
***
Sekumpulan
remaja putri berpakaian modis terlihat sedang bersandar di sebuah pohon dekat
area masjid. Pakaian mereka begitu kontras dengan remaja yang berlalu lalang
dengan pakaian tertutup.
Beberapa
pasang mata melihat garak-gerik mereka dengan pandangan aneh. Dan mereka lebih
terkejut saat melihat seorang gadis manis berjilbab, mendekati mereka. Terdengar
percakapan yang cukup lama di tengah naungan malam.
“Nih
... sekitar jam setengah duabelas nanti kamu ganti baju. Kita bakal nungguin di
tempat yang sama” Ujar salah satu dari mereka seraya menyodorkan sebuah
bungkusan kresek hitam. Sedangkan gadi berjilbab itu hanya mengangguk.
***
Nining
sama sekali tak dapat berkosentrasi dengan tausyiah yang di berikan salah satu
pemuka agama. Matanya sesekali melirik ke arah jam tangan.
Begitu
kagetnya ia saat melihat waktu yang tertera. Pukul setengah dua belas malam ...
ia harus bergegas. Pasti Fika tengah menunggunya.
“Bi
...” Panggil Nining, wajahnya sengaja ia buat agar terlihat seperti orang
kebelet.
“Aku
ke wc, ya .. Bi” Bibinya langsung
mengangguk.
“Eh,
acara utama nya bentar lagi mulai ... jangan lama-lama” pesan Bibinya yang di
jawab oleh anggukan oleh keponakannya.
Setelah
berhasil keluar dari keramaian di dalam Masjid, Nining melangkah mantap. Hatinya
begitu berbunga-bunga.
***
“Nining
mana, sih?” Erin sudah tak sabar, menunggu sepotong wajah yang sangat familiar
baginya.
“jangan-jangan
kejebak di dalam masjid, lagi?” Fika berprasangka.
“Eh
... itu Nining” Ujar Salwa seraya menunjuk seorang gadis manis dengan pakaian
yang tertutup. Masih seperti beberapa jam yang lalu.
Ketiga
teman Nining menatap heran. Kok masih pakai baju ini? Terlihat dari wajah-wajah
mereka yang penuh tanda tanya.
Yang
membuat ketiga temannya tercengang, Nining menyerahkan bungkusan kresek hitam
sambil tersenyum.
“Maaf,
kayaknya aku gak bisa ikut ngerayain tahun baru bareng kalian” Ujar Nining “O,
ya. Kalian kayaknya harus buru-buru, deh. Bentar lagi jam dua belas”
Keriga
temannya malah terdiam, kebingungan.
***
Erin
mencomot pisang goreng dengan bersemangat kemudian melahapnya. Dalam kondisi
mulutnya penuh, Erin masih menyempatkan untuk berbicara.
“Eh
pas kemarin malam tahun baru. Aku shock banget ngeliat Erza ngegandeng cewek”
“Iya,
ceweknya cantik banget. Aduh, mereka tuh malah mesra-mesraan” Salwa menimpali,
ia ikut-ikutan mencomot pisang goreng.“Untungnya kamu gak ada disitu. Kita gak
tega liat kamu nangis”
“Ah,
biasa aja kali” Nining menanggapi dengan cuek. Ketiga temannya saling
berpandangan. Kemudian Nining tertawa kecil. Ia teringat kejadian kemarin ...
Nining
sebal dengan rok yang ia pakai. Membuatnya tak dapat bergerak bebas, tak dapat
berlari. Sedang di tangannya, ia memegang sebuah bungkusan kresek hitam.
Baru
saja kakinya melangkah menuju WC, seseorang menegurnya.
“Lho
... jam segini kenapa masih keliaran di luar, neng?” Nining kontan langsung
menoleh. Didapatinya sepotong wajah yang membuat hatinya berdesir. Satu ... dua .. tiga .. empat...
lima detik Nining terdiam. Lebih lama di banding ketika melihat Erza.
Makhluk
yang ia lihat saat ini adalah seorang cowok berpakaian casual dengan kaos seta
kemeja kotak-kotak dan celana hitam. Matanya begitu teduh, wajahnya terlihat
berkharisma dan gagah. Yang pasti... Erza sih, lewaat.
“Neng
, acara utamanya mau di mulai lho! Ayo cepet, jangan sampai kelewat”
Duar!
Terdengar
jelas suara kembang api, seperti melengkapi isi hatinya yang tengah meledak-ledak.
Ya .. meledak hingga seindah kembang api..di Malam tahun baru. Begitu indah
tanpa harus bersama Erza. Menatap lama lelaki yang berada dihadapannya, Nining
merasa puas.
“Eh.
Iya, kang” Nining tersadar, kemudian tersenyum. Ia urungkan niatnya untuk
menemui Erza dan menyerahkan kembali bungkusan kresek hitam berisi baju untuk
dipakainya saat malam tahun baru.
Cerpen Nining (Plus Edit)
“Tahun baru di Bandung, euy!” sorak Nining. Girang.
Ini adalah pertama kalinya Nining merasakan hawa tahun
baru di Bandung, dengan suasana yang lebih meriah dibanding saat di Desa dulu.
Beberapa bulan yang lalu, Nining memutuskan untuk tinggal
di rumah Bibinya sekaligus melanjutkan jenjang pendidikan sekolah menengahnya
ke salah satu SMA terfavorit di Bandung.
Dan besok, malam pergantian tahun paling beda bagi
Nining. Bersama teman baru dan pengalaman baru.
“Asyik!” jerit Nining, saking senangnya ia sampai melompat-lompat.
***
“Ning ... Ada temen, tuh” Teriakan Bibinya, langsung di
sahut dengan bersemangat.
“Yeah!”
Di ayunkan kakinya, setengah berlari menghampiri
teman-teman yang sedang berdiri di dekat pagar rumah bercAat kuning. Mereka
tengah asyik mengobrol sambil menunggu kedatangan Nining.
“Fika, Salwa, Erin” Ketiga orang yang disebut namanya,
langsung menoleh.
“Hayu, masuk kedalam” Ajak Nining. Ketiga temannya
serempak mengagguk dan mengekor Nining yang sudah lebih dulu memasuki pelataran
rumah.
“Ning, kita ngobrolnya di beranda aja, ya” Ujar Fika, di
sambut anggukan Salwa dan Erin. “Biar santai” tambah Fika.
Tak lama kemudian, mereka berempat sudah duduk ber-sila
di teras rumah. Bertemankan sepiring cireng dan gehu, serta teh manis hangat.
“Gini, Ning” Salwa memulai. Tangannya mencomot cireng.
Kemudian melahapnya.
“Kita tuh, kesini buat ngajakin kamu ikut ngerayain Tahun
Baru bareng temen-temen di Gasibu” tutur Salwa dengan mulut penuh, cireng di
tangannya hanya tinggal separuh.
Mata
Nining berbinar, Kebetulan sekali!
“O,
ya. Katanya sih, Erza bakalan ikut” Erin menambahkan, lalu menyeruput teh manis
dengan nikmat. Nining terdiam sebentar. Menikmati tahun baru bersama Erza? ...
kontan saja, Nining jadi bersemangat.
“Aku
ikut!” Pekik Nining. Melihat itu, ketinga temannya saling melempar senyum
memaklumi.
“Deuh
... semangat banget, nih!” Sindir Salwa.
***
Malam
ini begitu dingin, sayup-sayup terdengar lagu dangdut mengalun. Nining teringat
suasana malam yang ia lewati di Desa. Jauh lebih sepi, yang terdengar hanyalah
suara jangkrik.
Tapi
besok, pasti malam hari menjadi lebih meriah. Ingatan Nining kembali pada
percakapan tadi siang. Bersama ketiga teman yang baru di kenalnya beberapa
bulan lalu.
Angannya
melayang, membayangkan sepotong episode malam tahun baru yang romantis bersama
Erza, di temani meriahnya suara petasan..
“Cantik
ya?” Nining bergumam pelan. Melihat kembang api yang menghias langit malam.
“Tapi
kalah sama kecantikan kamu. Kalau kembang api hanya dapat dinikmati
kecantikannya saat momen tertentu saja, tapi kamu ... aku bisa menikmati
kecantikan kamu setiap waktu”
Nining
senyam-senyum sendiri, wajahnya cerah dengan khayalan yang ia ciptakan. Nining
belum pernah merasa sebahagia ini, saat menyukai seseorang.
***
Nining
menghampiri seorang wanita berusia tiga puluhan yang tengah asyik duduk dengan
tangan yang terampil menjahit sebuah pakaian. Perlahan, Nining merangkul wanita
itu yang merupakan bibinya.
“Bibi
...” Nining sengaja membuat nada suaranya terdengar manja.
“Hmm
..” Sahut bibinya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan.
“Boleh
gak, kalau Nining ikut ngerayain tahun baru bareng temen-temen?” Bibinya
mengerutkan kening, tangannya sibuk menaruh kembali alat menjahit ke tempatnya.
“Boleh,
ya..?” Nining merajuk. Bibinya menatap lekat ke arah wajah Nining.
“Mau
ngerayain dimana, Neng geulis teh?”
“Kata
Fika, sih. Di Gasibu”
Bibinya mengusap bahu Nining perlahan,
kepalanya tertunduk. Yang Nining dengar hanyalah sebuah desahan.
“Yeuh,
Ning. Bibi rasa, kamu itu sudah besar. Mungkin tau mana yang benar dan yang
salah”
Nining
menelan ludah, ia dapat menebak bahwa bibinya tidak mengijinkan.
“Tapi,
Bi .. besok itu, malam pertama Nining ngerayain tahun baru di Bandung” Suara
Nining lirih.
“Ning
... kalau mau lihat kembang api kan bisa disini”
“Tapi,
kan beda” Nining bersikeras. Bibinya menatap wajah keponakan perempuannya
dengan penuh kehangatan.
“Ning
... Suasana di Bandung memang beda sama di Desa. Di sini gak seaman yang kamu
kira” Kata Bibinya “Daripada ngebuang uang, mending ikut sama Bibi aja.
Dengerin Tausyiah sama Perenungan di Puncak tengah malam, sekalian Muhasabah”
Nining
melepas rangkulannya. Ia bangkit dan berjalan tanpa mempedulikan panggilan
bibinya.
“Nining
... kamu kenapa?”
Ditutup
pintu kamar Nining dengan keras, Hingga menhasilkan suara berdebum. Di kamar,
ia langsung mengehempaskan diri di atas kasur. Matanya menghangat, dadanya
serasa sesak. Dalam bayangannya, besok teman-temannya akan bersuka cita tanpa
kehadirannya. Tertawa-tawa dengan riang, dan Erza ...
Hilanglah
kesempatanku untuk dekat dengannya, Batin gadis itu.
***
Memiliki
nama lengkap Erza Aridya Muse. Cowok blasteran itu, terkenal di kalangan para
siswi karena jasanya pada sekolah yang telah membawa banyak piala, juga karena
ketampanannya serta senyuman manis yang selalu tersungging pada setiap orang
yang berada di sekitarnya. Bisa dibilang ia sangat ramah, ... terlalu ramah
malah.
Pertemuan
Nining dengan cowok berperawakan tinggi ini, bermula ketika cowok itu tak
sengaja menumpahkan minuman pada buku gambar A3 milik Nining. Dengan wajah
panik, cowok itu berjanji akan menggantinya. Dan benar saja, keesokkan harinya
Erza langsung menyodorkan sebuah buku gambar yang masih terbungkus plastik.
“Ini,
... maaf soal yang kemarin”
“Bukan
masalah” Nining menjawab singkat, tangannya dengan cepat meraih buku gambar
dengan kepala tertunduk-tunduk, tak mampu menatap lawan bicaranya. Habis, ia
sudah gugup duluan.
“Oke
..” Suara cowok itu terdengar canggung. Perlahan Nining mendongakkan kepalanya,
dan .. satu .. dua.. tiga detik Nining terdiam melihat cowok itu tengah
tersenyum padanya.
Jantungnya
berdegup kencang, rasanya ingin sekali Nining menjerit saking terpana pada
sosok di hadapannya.
Dan
... sejak saat itulah Nining menyukai Erza.
***
Siang
itu, kediaman Bibi Nining di ramaikan kedatangan Fika, Salwa dan Erin. Tadinya,
mereka bertiga mau merencanakan kegiatan saat tahun baru. Tapi mendengar cerita
Nining, membuat mereka terbelalak.
“Hah?”
Ketiga
teman Nining yang sedari tadi asyik memakan gorengan yang disuguhkan, langsung
memusatkan perhatian pada Nining.
“Masa
gitu doang gak di kasih ijin?” Salwa mengerutkan kening.
“Ih,
Norak. Kuno banget” Erin menambahkan.
“Jadi,
Bibi kamu malah ngajakin kamu dengerin tausyiah?” Kejar Fika kemudian. Nining
mengangguk. Fika terdiam sejenak.
“Gini
deh ... aku kasih solusi. Gimana kalau .. Psstt..” terlihat Fika membisikan
sesuatu. “Psst..psstt..!”
“Apa
gak dosa, Fik?” Nining telihat ragu. Fika menggeleng mantap.
“Demi
kebahagiaanmu, kenapa tidak?”
***
Sekarang
sudah pukul lima sore. Bibi berencana pergi ke Pusdai untuk menghadiri acara
Muhasabah pada pukul setengah enam .
Nining
dilema. Antara bingung, takut dan juga keinginannya yang kuat untuk bertemu
sang pujaan hati. Perlahan tangannya membuka jendela kamar yang menghubungkan
ke pekarangan belakang. Ia berencana kabur ke rumah Erin. Jaraknya lumayan
dekat, hanya melewati beberapa gang saja.
Dengan
hati-hati, Nining menaiki jendela kamar. Tak disangka, Bibinya menerobos masuk
kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Masya
Allah! Ning ...” pekikan Bibinya membuat Nining terperanjat, pasrah. Beberapa
menit kemudian, Nining tertunduk. Merasa malu karena kepergok mau kabur. Rencana
A, Gatot alias Guaaagal Totaaal!
“Ning!
eling... kenapa nekat gitu?” Bibinya mengguncang-guncang kedua bahu
keponakannya itu. Nining membisu.
“Udah!
Sekarang kamu ikut Bibi Muhasabah sampai subuh di Pusdai” Tandas Bibinya
kemudian.
“Tapi
..”
Nining
lemas seketika. Gimana, nih?! Harapannya untuk menikmati Tahun baru layaknya
Remaja pada umunya, menguap sudah. Apalagi menikmatinya bersama Erza? ...
sekarang hanyalah sebuah angan belaka.
Aha!
.. Nining menjentikkan jari. Saatnya
rencana B..
***
Nining
menatap sebuah masjid yang berdiri megah di hadapannya kini. Berwaran cet Krem
serta coklat. Tak dapat di pungkiri, ternyata Pusdai begitu indah dan luas.
“Tuh,
kan! Gak terlalu buruk, kalau Nining datang ke sini” Sergah bibinya. Nining
masih cemberut.
Sebenarnya,
begitu banyak acara hiburan selama menunggu tengah malam tiba. Bahkan Nining
bisa mendengar suara dangdut yang berasal dari tempat dekat masjid.
Aneh
.. gumamnya.
Entah
sudah berapa kali, Nining menatap jam tangan mungil yang menghiasi pergelangan
tangannya. Masih jam delapan, boseeeen! Jerit Nining. Ia kemudian memutuskan
berjalan-jalan mengelilingi luasnya area masjid.
***
Sekumpulan
remaja putri berpakaian modis terlihat sedang bersandar di sebuah pohon dekat
area masjid. Pakaian mereka begitu kontras dengan remaja yang berlalu lalang
dengan pakaian tertutup.
Beberapa
pasang mata melihat garak-gerik mereka dengan pandangan aneh. Dan mereka lebih
terkejut saat melihat seorang gadis manis berjilbab, mendekati mereka.
Terdengar percakapan yang cukup lama di tengah naungan malam.
“Nih
... sekitar jam setengah duabelas nanti kamu ganti baju. Kita bakal nungguin di
tempat yang sama” Ujar salah satu dari mereka seraya menyodorkan sebuah
bungkusan kresek hitam. Sedangkan gadi berjilbab itu hanya mengangguk.
***
Nining
sama sekali tak dapat berkosentrasi dengan tausyiah yang di berikan salah satu
pemuka agama. Matanya sesekali melirik ke arah jam tangan.
Begitu
kagetnya ia saat melihat waktu yang tertera. Pukul setengah dua belas malam ...
ia harus bergegas. Pasti Fika tengah menunggunya.
“Bi
...” Panggil Nining, wajahnya sengaja ia buat agar terlihat seperti orang
kebelet.
“Aku
ke wc, ya .. Bi” Bibinya langsung
mengangguk.
“Eh,
acara utama nya bentar lagi mulai ... jangan lama-lama” pesan Bibinya yang di
jawab oleh anggukan oleh keponakannya.
Setelah
berhasil keluar dari keramaian di dalam Masjid, Nining melangkah mantap.
Hatinya begitu berbunga-bunga.
***
“Nining
mana, sih?” Erin sudah tak sabar, menunggu sepotong wajah yang sangat familiar
baginya.
“jangan-jangan
kejebak di dalam masjid, lagi?” Fika berprasangka.
“Eh
... itu Nining” Ujar Salwa seraya menunjuk seorang gadis manis dengan pakaian
yang tertutup. Masih seperti beberapa jam yang lalu.
Ketiga
teman Nining menatap heran. Kok masih pakai baju ini? Terlihat dari wajah-wajah
mereka yang penuh tanda tanya.
Yang
membuat ketiga temannya tercengang, Nining menyerahkan bungkusan kresek hitam
sambil tersenyum.
“Maaf,
kayaknya aku gak bisa ikut ngerayain tahun baru bareng kalian” Ujar Nining “O,
ya. Kalian kayaknya harus buru-buru, deh. Bentar lagi jam dua belas”
Keriga
temannya malah terdiam, kebingungan.
***
Erin
mencomot pisang goreng dengan bersemangat kemudian melahapnya. Dalam kondisi
mulutnya penuh, Erin masih menyempatkan untuk berbicara.
“Eh
pas kemarin malam tahun baru. Aku shock banget ngeliat Erza ngegandeng cewek”
“Iya,
ceweknya cantik banget. Aduh, mereka tuh malah mesra-mesraan” Salwa menimpali,
ia ikut-ikutan mencomot pisang goreng.“Untungnya kamu gak ada disitu. Kita gak
tega liat kamu nangis”
“Kenapa
mesti nangis? Biasa aja, kali” Nining menanggapi dengan cuek. Ketiga temannya
saling berpandangan. Kemudian Nining tertawa kecil. Ia teringat kejadian
kemarin ...
Nining
sebal dengan rok yang ia pakai. Membuatnya tak dapat bergerak bebas, tak dapat
berlari. Sedang di tangannya, ia memegang sebuah bungkusan kresek hitam.
Baru
saja kakinya melangkah menuju WC untuk berganti pakaian, seseorang menegurnya.
“Lho
... jam segini kenapa masih keliaran di luar, neng?” Nining kontan langsung
menoleh. Didapatinya sepotong wajah yang membuat hatinya berdesir. Satu ... dua .. tiga .. empat...
lima detik Nining terdiam. Lebih lama di banding ketika melihat Erza.
Makhluk
yang ia lihat saat ini adalah seorang cowok berpakaian casual dengan kaos seta
kemeja kotak-kotak dan celana hitam. Matanya begitu teduh, wajahnya terlihat
berkharisma dan gagah. Yang pasti... Erza sih, lewaat.
“Neng
, acara utamanya mau di mulai lho! Ayo cepet, jangan sampai kelewat”
Duar!
Terdengar
jelas suara kembang api di selingi suara terompet, seperti melengkapi isi hatinya
meledak-ledak. Ya .. meledak hingga seindah kembang api..di Malam tahun baru.
Begitu indah tanpa harus bersama Erza. Menatap lama lelaki yang berada
dihadapannya, Nining merasa puas.
“Eh.
Iya, kang” Nining tersadar, kemudian tersenyum. Ia urungkan niatnya untuk
menemui Erza dan menyerahkan kembali bungkusan kresek hitam berisi baju untuk
dipakainya saat malam tahun baru.
Nining
sadar, tahun baru kali ini tak harus diisi oleh kemeriahan semata. Menemukan
cinta dalam sekali pandang bagi Nining adalah hal yang cukup membuatnya
bahagia.
Langganan:
Postingan (Atom)